Kamis, 21 Juni 2018

Tahapan Sertifikasi Halal

Halal bisa menjadi salah satu nilai lebih yang dimiliki sebuah produk. Untuk mencantumkan label Halal pada sebuah produk, perusahaan memerlukan sertifikasi Halal. Perusahaan yang ingin mendapatkan sertifikat Halal di Indonesia saat ini bisa mengajukan permohonan ke LPPOM MUI. Terdapat beberapa tahapan yang perlu dilewati.

Pertama, perusahaan harus memahami apa itu sertifikasi Halal dan SJH (Sistem Jaminan Halal) atau HAS (Halal Assurance System). HAS 23000 merupakan dokumen mengenai persyaratan sertifikasi halal LPPOM MUI yang terdiri dari 2 bagian. HAS 23000:1 merupakan bagian pertama yang berisi tentang Persyaratan Sertifikasi Halal: Kriteria Sistem Jaminan Halal dan HAS 23000:2 merupakan bagian kedua yang berisi tentang Persyaratan Sertifikasi Halal: Kebijakan dan Prosedur. Perusahaan juga wajib mengikuti dan lulus pelatihan SJH yang diadakan LPPOM MUI seperti Pemahaman SJH, Interpretasi dan Implementasi SJH, internal audit SJH, dan HAS Internasional. Informasi lengkap mengenai pelatihan SJH 2018 dapat dilihat di sini.

Kebijakan halal perlu disosialisasikan kepada seluruh stake holder perusahaan. Perusahaan juga harus membentuk tim khusus dan audit internal yang bertanggung jawab atas manajemen halal. Prosedur dan aktivitas produksi juga harus jelas dan tertulis serta mempunyai kemampuan traceability atau pelacakan kembali yang jelas. Bahan yang digunakan tidak boleh masuk dalam kategori haram. Fasilitas produksi harus menjamin tidak adanya kontaminasi silang dengan bahan yang haram. Secara lengkap, SJH dapat dilihat pada HAS 23000.

Gambaran langkah umum sertifikasi halal melalui Cerol

Setelah memahami dan menerapkan SJH, beberapa dokumen perlu dipersiapkan untuk dilampirkan saat pengajuan sertifikasi. Dokumen-dokumen tersebut antara lain ada data perusahaan, data produk dan bahan, serta dokumen halal. Data perusahaan pemohon dan segala perusahaan yang terlibat dalam pembuatan produk, yang terdiri dari nama dan alamat perusahaan, serta PIC. Data produk dan bahan terdiri dari nama, kelompok dan jenis produk, produsen, negara produsen, supplier, dan bahan pendukung lainnya. Dokumen halal terdiri dari manual SJH, diagram alir produksi, surat pernyataan yang menyatakan bahwa fasilitas bebas dari kontaminasi babi, daftar seluruh fasilitas produksi, dokumen izin usaha, serta bukti-bukti sosialisasi kebijakan halal, pelaksanaan SJH, dan audit internal SJH.

Setelah dokumen dilengkapi, perusahaan dapat melakukan pengumpulan secara online ke layanan sertifikasi halal online ‘Cerol’ LPPOM MUI. Tahapan atau petunjuk pengunduhan dokumen dapat dilihat di sini. Setelah melengkapi pengunduhan dokumen yang diperlukan, perusahan dapat melakukan monitoring pre-audit secara rutin dan melunasi pembayaran akad sertifikasi di website Cerol. Setelah pembayaran dilakukan dapat melakukan konfirmasi pembayaran ke bendaharalppom@halalmui.org.

Setelah itu, tinggal menunggu pelaksanaan proses audit setelah perusahaan dinyatakan lolos tahap pre-audit dan sudah melunasi akad sertifikasi. Audit akan dilaksanakan di semua fasilitas dan lokasi perusahaan yang berkaitan dengan produk yang didaftarkan sertifikasi halal. Setelah hasil audit dinyatakan lolos menurut hasil rapat auditor dan semua dokumen telah dilengkapi, maka aka nada rapat komisi fatwa MUI. Setelah produk perusahaan dinyatakan layak dan pantas untuk ditetapkan halal, perusahaan akan mendapatkan sertifikat Halal resmi dari LPPOM MUI. Sertifikat halal dapat diunduh dalam bentuk softcopy di Cerol. Sementara, sertifikat asli dapat diambil di kantor LPPOM MUI atau dikirimkan ke alamat perusahaan. Sertifikasi halal ini berlaku selama dua tahun dan harus diperpanjang sebelum masa berlakunya berakhir.


Senin, 18 Juni 2018

Manajemen Rantai Pasok Halal

Mengonsumi makanan yang halal adalah salah satu kewajiban khusunya bagi umat muslim sebagai salah satu syarat dalam menjalankan keyakinan mereka. Pada era sekarang ini berbeda dengan era masa lampau dimana pengolahan pangan saat ini sudah sangat kompleks dan menggunakan berbagai bentuk teknologi dalam proses produksinya. Proses yang dimulai dari pengadaan bahan baku, pengolahan dan produksi, pengemasan, distribusi pengangkutan, dan penjualan yang akhirnya sampai ke tangan konsumen merupakan hal yang penting. akses komunikasi konsumen pada produsen menjadi jauh dan untuk mengetahui kehalalan suatu produk pangan menjadi sulit. Oleh karena itu, system halal sendiri membutuhkan pendekatan rantai pasok dimana nilai-nilai antar rantai pasokannya harus selaras sepenuhnya sehingga dapat memenuhi keinginan konsuman yaitu bahwa produk akhir yang mereka terima sudah terjamin halal dan berdasarkan prinsip syariat Islam.

Pada prinsipnya segala sesuai yang diciptakan oleh Tuhan adalah halal, kecuali ada dalil atau shariah yang mengharamkannya. Dalam makanan halal dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu halal dalam mendapatkannya atau halal substansi barangnya. Yang dimaksud dengan halal mendapatkannya adalah cara untuk memperolehnya, misalnya seperti bukan hasil dari mencuri, menipu, menjudi, korupsi, dan lainnya. Dalam Al-qur’an pada surat Al -Baqarah ayat 173 terdapat empat jenis makanan yang diharamkan, yaitu bangkai, darah, babi, dan binatang yang disembelih dengan menyebut nama selain Allah. Yang dimaksudkan dengan bangkai adalah hewan yang mati dengan tidak disembelih, darah maksudnya adalah darah yang mengucur dari tubuh hewan sembelihan dan semua bagian tubuh babi adalah haram. minuman khamr atau segala sesuai yang bersifat memabukkan adalah haram. Keputusan MUI untuk minuman yang mengandung minumal 1% etanol, merupakan khamr. Namun apabila minuman yang diproduksi dari hasil fermentasi dan tidak mengandung lebih dari 1% etanol, maka tidak dikategorikan sebagai khamir.

Manajemen rantai pasok halal (Halal Supply Chain Management) merupakan kegiatan manajemen yang terlibat sepanjang rantai pasok dengan tujuan menjamin integritas halal mulai dari bahan baku hingga titik pembelian konsumen, sehingga saat sampai di tangan konsumen, produk tersebut masih halal dan aman untuk dikonsumsi. rantai pasok halal merupakan proses pengelolaan, pengadaan, penyimpanan dan penanganan bahan, produk setengah jadi, dan produk jadi untuk makanan dan non makanan dengan menerapkan prinsip-prinsip hukum syariah melalui suatu organisasi. fondasi dari manajemen rantai pasok halal ditentukan dari 3 fondasi yaitu kontak langsung dengan haram, bahaya kontaminasi dan persepsi dari konsumen muslim

Model manajemen rantai pasok halal tersebut diadaptasikan dari rantai pasok pangan pada umumnya, namun ditambahkan dengan titik - titik yang perlu diperhatikan untuk halal. Pengembangan rantai pasok pangan halal memerlukan adanya komitmen dari manajemen tertinggi sebagai dasar dari organisasi dari rantai pasok. Halal Policy atau kebijakkan halal merupakan nilai penting sebagai bagian dari tanggung jawab suatu organisasi untuk melindungi integritasnya terhadap halal sepanjang rantai pasok, untuk mencapai sertifikasi halal, dan untuk memberikan perasaan aman bagi konsumen mengenai jaminan halal. Kemudian sejalan dengan jaringan antara supply dan demand rantai pasok diatur atau dibuat sedemikian rupa sehingga tujuan akhirnya adalah mencapai rantai pasok yang halal

Based on Pyramid

Keberlanjutan rantai pasok semakin yang semakin meningkat merupakan salah satu tanggung jawab yand perlukan diperhatikan perusahaan. Manajemen sosial, serta lingkungan dan dampak ekonomi dari rantai pasok. Dalam beberapa tahun terakhir, isu mengenai keberlanjutan dan pemberantasan kemiskinan semakin mendapatkan perhatian. Manajemen bisnis yang berkembang untuk orang miskin di dunia yang telah berkembang dalam beberapa tahun terakhir. Para ahli mengacu pada sebuah konsep manajemen yang disebut Base of Pyramid (BoP).

BoP menggambarkan konsumen utama dari sebuah bisnis sebagai tingkat dasar piramida yang juga menggambarkan pendapatan dunia yang mewakili sebagian besar orang yang hidup dalam ekstrim dan kemiskinan moderat. Penelitian terbaru berkontribusi pada pandangan holistik yang merangkul masyarakat miskin. Masyarakat menengah ke bawah ini tanpa disadari juga sebenarnya merupakan konsumen utama. Secara kasar dapat dikatakan bahwa bisnis tidak akan dapat berjalan tanpa adanya daya beli dari konsumen. Oleh karena itu, perlu ada peningkatan daya beli konsumen utama yang berada di dasar piramida.

Based of The Pyramid (BoP) merupakan sebuah konsep yang diperkenalkan oleh Prahalad dan Hard (2002) sebagai sebuah konsep yang mengacu pada kewirausahaan dengan tujuan social yaitu pembangunan dan pemberantasan kemiskinan. Pengenalan konsep ini mendapatkan respon yang baik dari akademisi, pebisnis, LSM, dan lainnya. BoP sendiri juga merupakan usaha untuk membuka jalan bagi rakyat miskin untuk bertransformasi dan berinovasi dari pembangunan. Pembangunan juga perlu dilakukan dengan merangkul perusahaan kecil, menengah, dan mikro untuk turut berperan dalam membuka lapangan kerja.

Tujuan BoP dapat diartikan sebagai pembangunan yang berkelanjutan yang dapat dilakukan dengan peningkatan pendapatan dan standar hidup rakyat miskin. Pendekatan yang dilakukan untuk mencapai tujuan ini bukanlah sesuatu yang sederhana. Kegagalan dari BoP biasanya terjadi karena kegagalan dalam mengembangkan pendekatan bisnis, pemahaman yang kurang terhadap bisnis terkait, kurang pemahaman mengenai konsumen miskin, kreativitas dan kebutuhan yang kompleks.

Perusahaan multinasional mungkin telah terbiasa dengan konsumen berpenghasilan tinggi yang tidak sensitif terhadap harga, tetapi penerapan konsep BoP pada negara berkembang mewajibkan untuk memahami secara mendalam mengenai karakter konsumen di negara tersebut. Pemahaman ini meliputi budaya, aspirasi, keinginan, dan gaya hidup penduduk, hal inilah yang tidak mudah.

Tahapan Impor dengan Metode Pembayaran Letter of Credit

Kegiatan Impor merupakan kegiatan memasukan barang dari daerah pabean Negara lain ke daerah pabean Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan, dan ruang udara diatasnya, serta tempat – tempat tertentu di zona Ekonomi Eksklusif dan landasan kontinen  (UU nomer 17 tahun 2006 tentang perubahan atas UU nomer 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan). Terdapat beberapa hal yang perlu diketahui bagi seorang importir seperti persyaratan importir, tahapan dalam memesan barang impor dan dokumen yang terkait, serta jaringan perdagangan impor yang terkait. Pada artikel ini akan dibahas tahapan dalam kegiatan impor. Sebelum melakukan impor, importir mengetahui ketentuan umum di Bidang Impor (diatur dalam Permendag NO 48/M-DAG/PER/7/2015 tentang Ketentuan Umum di Bidang Impor), termasuk dalam kelompok produk impor apakah produk yang akan diimpor: produk yang diatur, dilarang, atau bebas impor, masing –masing kelompok  memiliki   persyaratan sendiri yang berbeda 

Impor hanya dapat dilakukan oleh Perusahaan yang telah memiliki Angka Pengenal Importir (API). Apabila perusahaan belum mempunyai API dan berniat melakukan importasi harus terlebih dahulu mendapatkan persetujuan impor tanpa API dari Menteri yang menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perdagangan, dalam hal ini adalah Menteri Perdagangan. API bisa didaftarkan pada BKPM (Badan Koordinasi Penanaman Modal) dengan melengkapi dokumen-dokumen yang diperlukan (sesuai dengan Permendag no. 70/M-DAG/PER/9/2015 Pasal 17). Pendaftaran bisa dilakukan online melalui website inatrade, melalui jasa pengiriman, ataupun langsung ke Kepala BKPM (Badan Koordinasi Penanaman Modal) di terdekat, alamatnya di berbagai daerah bisa ditemukan di sini.

Pertama, Importir mencari supplier barang sesuai dengan yang akan diimpor. Setelah terjadi kesepakatan jual-beli antara dua pihak, importir membuka L/C di bank devisa atau opening bank sesuai dengan isi kontrak. dengan melampirkan daftar barang yang akan diimpor. L/C kemudian diteruskan pada correspondent bank di negara eksportir untuk dilaporakan kepada eksportir. Barang–barang dari eksportir kemudian disiapkan dan dikirim ke negara importir. Setelah menyelesaikan kewajibannya untuk membayar kepada opening bank sesuai dengan kesepakatan, eksportir kemudian akan menerima B/L sesudah barang dikirim ke pelabuhan pemuatan untuk diajukan. Eksportir kemudian akan mengirimkan B/L dengan dilengkapi dokumen pengapalan seperti, Invoice, daftar barang, dan beberapa dokumen lain jika disyaratkan dalam kontrak awal.

Selanjutnya importir perlu membuat atau mengisi dokumen PIB (Pengajuan Impor Barang) secara mandiri atau bisa menggunakan jasa PPJK (Pengusaha Pengurusan Jasa Kepabeanan). Dari PIB tersebut, akan diketahui berapa Bea masuk dan pajak yang lain yang akan dibayar. Selain itu Importir juga harus mencantumkan dokumen kelengkapan yang diperlukan di dalam PIB. Importir perlu membayar ke opening bank sebesar pajak yang akan dibayar ditambah biaya PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak). Setelah itu, bank akan melaporkan pembayarannya ke Bea dan Cukai. Data PIB kemudian juga perlu dikirimkan oleh importir ke Bea dan Cukai. Pelaporan oleh bank dan importir ini dapat dilakukan melalui Sistem Komputer Pelayanan (SKP) Bea dan Cukai secara online melalui media Pertukaran Data Elektronik (PDE). Data PIB terlebih dahulu akan diproses di Portal Indonesia National Single Window (INSW) untuk proses validasi kebenaran pengisian dokumen PIB dan proses verifikasi perijinan terkait.

Jika ada kesalahan maka PIB akan ditolak dan importir harus melakukan pembetulan PIB serta pengiriman ulang kembali data PIB. Setelah proses di portal INSW selesai maka data PIB secara otomatis akan dikirim ke Sistem Komputer Pelayanan (SKP) Bea dan Cukai. Dokumen PIB kembali akan dilakukan validasi kebenaran pengisian dokumen PIB dan verifikasi perijinan di SKP. Jika data benar akan dilanjutkan dengan hasil pemeriksaan PIB. Jika tidak ada masalah, maka akan langsung keluar Surat Persetujuan Pengeluaran Barang (SPPB). Jika terdapat masalah, maka akan dilakukan proses cek fisik terhadap barang impor oleh petugas Bea dan Cukai. Jika tidak ditemukan masalah, maka SPPB akan diterbitkan, namun ika benar ditemukan masalah, maka akan importir dikenakan sanksi sesuai undang-undang yang berlaku. Setelah SPPB keluar, importir dapat melakukan pencetakan SPPB dan barang bisa dikeluarkan dari pelabuhan dengan mencantumkan dokumen pengapalan asli dan SPPB

Minggu, 17 Juni 2018

Tahapan Ekspor dengan Metode Pembayaran Letter of Credit

Ekspor merupakan kegiatan mengeluarkan barang dari daerah pabean Indonesia ke daerah pabean negara lain. Proses ekspor umumnya diawali dengan penawaran atau permintaan yang berujung pada persetujuan atau perjanjian atau kontrak jual-beli yang dilakukan oleh penjual dan pembeli, dalam hal ini adalah pihak Eksportir dan Importir. Proses pembayaran untuk pengiriman ini dapat melalui metode Letter of Credit (L/C) atau non-L/C, masing-masing metode memiliki risiko dan keuntungan tersendiri, namun umumnya kegiatan ekspor menggunakan metode pembayaran L/C dan pada artikel ini akan dijelaskan cara ekspor dengan pembayaran menggunakan L/C. Untuk menjadi eksportir, terdapat beberapa ketentuan, diantaranya harus berbentuk badan hukum, bisa dalam bentuk CV (Commanditaire Vennotschap), Firma, PT (Perseroan Terbatas), Persero (Perusahaan, Perseroan), Perum (Perusahaan Umum), Perjan (Perusahaan Jawatan), atau Koperasi. Eksportir juga harus memiliki NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak). Salah satu dari ijin berikut juga harus dikantongi: Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) dari Dinas Perdagangan atau Surat Izin Industri dari Dinas Perindustrian atau Izin Usaha Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) atau Penanaman Modal Asing (PMA) yang dikeluarkan oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).

Gambaran langkah umum dapat dilihat melalui gambar berikut: (Sumber)

Setelah kontrak dibuat, importir akan membuka L/C di bank yang dipercaya importir. Bank ini kemudian disebut Bank Devisa atau issuing bank atau opening bank. Letter of Credit sendiri merupakan bentuk Jaminan importir kepada eksportir melalui perantara bank untuk melakukan pembayaran sejumlah tertentu dengan jangka waktu tertentu. L/C yang dibuat ditujukan untuk pembayaran ke eksportir atau sesuai dengan kontrak awal. Setelah itu, bank devisa akan mengonfirmasi L/C dan meneruskan ke bank yang ditunjuk oleh eksportir. Bank ini kemudian disebut dengan advising bank atau corresponding bank. Ketika keabsahan L/C sudah diperiksa oleh corresponding bank, maka surat pengantar (L/C advice) akan dikirimkan oleh corresponding bank kepada eksportir. Dengan begini, eksportir dapat lebih tenang menyiapkan barang karena sudah memiliki jaminan akan penerimaan uang dengan jumlah sesuai dengan kontrak.

Setelah menerima L/C advice dan menyiapkan barang, eksportir perlu melakukan pengurusan pengiriman barang. Pengiriman barang bisa melalui jalur darat, udara, maupun laut. Pengiriman juga dapat dilakukan melalui pihak ketiga. Pada dasarnya proses pengiriman barang juga dilakukan sesuai dengan kontrak awal. Di pelabuhan muat, eksportir harus mengurus dokumen Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB) di Bea Cukai. Kelengkapan dokumen dan kewajiban lainnya juga harus dilengkapi misalnya pelaporan surveyor sesuai kontrak awal dan pajak yang berlaku untuk jenis-jenis barang tertentu. Setelah itu, barang akan dimuat, serta beberapa dokumen akan diserahkan kepada eksportir seperti bukti penerimaan barang, kontrak angkutan, bukti kepemilikan barang atau biasa dikenal dengan bill of lading (B/L) serta dokumen pengapalan lainnya jika ada. Eksportir kemudian akan meneruskannya ke corresponding bank untuk dikirimkan ke opening bank.

Setelah menerima B/L, eksportir dapat menyiapkan keperluan dokumen lain yang disebutkan dalam L/C misalnya invoice, daftar barang yang diekspor, sertifikasi, Surat Keterangan Asal (SKA), dan lain-lain. Semua dokumen keudian diserahkan ke bank yang dipercaya untuk menyelesaikan pembayaran, bank ini disebut dengan negotiating bank atau receiving bank. receiving bank bisa merupakan bank yang sama dengan corresponding bank ataupun berbeda. receiving bank ditunjuk dan telah disebutkan dalam L/C. Receiving bank kemudian akan memeriksa kelengkapan dan keabsahan dari dokumen pengapalan yang diterima dari eksportir. Setelah semua dokumen sesuai, receiving bank akan membayar eksportir.

*tambahan: setelah receiving bank membayar eksportir sejumlah uang yang disebutkan di L/C, dokumen pengapalan akan diserahkan ke opening bank. Setelah dokumen diterima, diperiksa, dan disetujui oleh opening bank, uang yang tadi dibayarkan oleh receiving bank ke eksportir akan “digantikan” atau di-reimburse oleh opening bank kepada receiving bank. Ketika importir telah menyelesaikan kewajiban pembayaran kepada opening bank, maka dokumen pengapalan tadi akan diserahkan kepada importir untuk pengurusan pengambilan barang yang diimpor.

Rabu, 13 Juni 2018

Manajemen Pengetahuan (Knowledge Management): Sekilas Konsep Teoritis

Knowledge management atau juga dikenal dengan sistem manajemen pengetahuan merupakan sebuah sistem yang bertujuan untuk mengelola pengetahuan. Pengetahuan, baik umum dan terutama khusus, merupakan suatu aset yang berharga karena itulah suatu organisasi memerlukan sistem ini untuk mengelola aset penting tersebut. Pengetahuan merupakan motor utama dalam pertumbuhan ekonomi dan kompetisi. Manajemen pengetahuan berfokus pada bagaimana pengelolaan pengetahuan yang dimiliki oleh suatu organisasi agar dapat memberi manfaat pada organisasi tersebut. Pengetahuan telah menjadi modal ekonomi, sumber dan dasar dari strategi, keunggulan kompetitif, dan sebagainya. Pada masa kini, banyak organisasi sudah mulai lebih sadar untuk mengelola pengetahuan dengan memanfaatkan (mengetahui asal-usul, posisi saat ini, dan tujuannya), membagikannya (pengetahuan mulai bergeser dari pengetahuan individu ke kelompok) dan terus menciptakan pengetahuan baru (improvisasi dan inovasi)

Konsep pertama adalah nilai pengetahuan dalam rantai pasok atau hubungkan pengetahuan dengan konsep-konsep lain penting lain. Rantai pasok melibatkan banyak pihak yang akan mengantarkan suatu barang baku menjadi suatu barang bernilai ke tangan konsumen. Pengetahuan diperlukan dalam setiap mata rantainya agar barang sampai ke tangan konsumen dalam keadaan yang baik. Misalnya bagaimana keadaan dan cara pembuatan, pengiriman, pemasaran, dan penjualan yang baik atau bagaimana keadaan lain seperti infrastruktur, kualitas SDM, kualitas bahan baku, dan jarak pengiriman dapat memengaruhi nilai dari barang.

Konsep kedua, sering kurang dipahami dan didefinisikan dengan baik, adalah pengetahuan sebagai modal. Pengetahuan merupakan modal tak berwujud tetapi berharga yang dimiliki semua organisasi, dan tanpa disadari merupakan salah satu kunci utama dari semua kebijakan dalam organisasi. Bahkan manajemen pengetahuan dapat didefinisikan sebagai pengelolaan pengetahuan sebagai sebuah modal atau aset yang dapat digunakan untuk kepentingan lainnya. Pengetahuan bisa menjadi sangat berharga, oleh karena itu pengelolaannya perlu menjadi perhatian. Pengelolaan pengetahuan secara sederhana seperti bagaimana cara melakukan inventaris pengetahuan; bagaimana cara menyimpan pengetahuan; bagaimana cara menyembunyikan pengetahuan; bagaimana cara mengelompokkan pengetahuan; dan bagaimana cara memanfaatkan pengetahuan sehingga menjadi berguna.

Konsep ketiga merupakan definisi dan pengertian dari pengetahuan itu sendiri. Setiap organisasi biasa mempunyai definisi pengetahuan bagi mereka sendiri. Ada banyak definisi yang dapat ditemukan dalam sistem informasi bisa sama ataupun berbeda. Definisi pasti dan mendalam mengenai pengetahuan secara filosofis merupakan subjek yang telah dibahas sejak lama. Namun, secara garis besar, pengetahuan dapat didefinisikan sebagai sebuah informasi yang tersusun secara lebih sistematis dan komprehensif sehingga memberikan nilai lebih pada informasi. Informasi sendiri dapat diartikan sebagai data yang mempunyai nilai, dituangkan dalam bahasa atau kode yang dapat dimengerti. Data sendiri merupakan bentuk 'mentah' dari informasi, yaitu sesuatu yang diketahui dan ada namun belum bisa dipahami.

Beberapa proses penting dalam manajemen pengetahuan adalah pembuatan, kodifikasi, pembagian dan penyebaran, strategi pemanfaatan, dan evaluasi dan penilaian pengetahuan. Pembuatan pengetahuan terjadi ketika terjadi suatu peristiwa atau pengamatan yang baru sehingga suatu organisasi mendapat pembelajaran baru dari pengalaman atau dari sumber lainnya. Kodifikasi pengetahuan dilakukan untuk membuat pengetahuan menjadi suatu yang lebih 'nyata' sehingga dapat dimengerti oleh beberapa orang. Kodifikasi ini dapat dibuat sederhana agar dapat dipahami orang atau organisasi lain, atau dapat dibuat lebih kompleks dengan harapan hanya dapat dimengerti oleh beberapa orang saja. Kodifikasi yang dibuat kompleks biasanya digunakan pada pengetahuan yang menjadi aset penting suatu organisasi sehingga tidak dapat dimanfaatkan oleh organisasi lain dan  menjadi keunggulan kompetitif bagi sebuah organisasi yang memegang pengetahuan tersebut. Pembagian dan penyebaran suatu pengetahuan dalam rantai pasok harus diatur atau dikelola agar suatu kegiatan rantai pasok dapat berjalan optimal, namun juga tidak merugikan suatu organisasi. Bentuk sederhana dari pengelolaan pembagian dan penyebaran pengetahuan adalah peraturan mengenai informasi apa yang harus disebar, disampaikan hanya pada pihak tertentu saja, atau sama sekali tidak boleh keluar dari lingkungan organisasi. Pemanfaatan pengetahuan dengan strategi dapat dilakukan misalnya dengan memahami pengetahuan apa saja (baik umum maupun khusus) yang dipegang oleh organisasi, bagaimana pemanfaatannya, dan risiko apa yang dapat timbul dari keputusan yang diambil. Terakhir, evaluasi terhadap kebenaran dan hasil implementasi strategi pengelolaan ini.

Minggu, 03 Juni 2018

Ketenagakerjaan

Saat ini, ketenagakerjaan di Indonesia diatur dalam Undang-undang Republik Indonesia no.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Dilengkapi dengan UU RI no.21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja; UU RI no.2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial; dan UU RI no.39 tahun 2004 tentang Penempatan Dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Di Luar Negeri.

Regulasi mengenai ketenagakerjaan sebenarnya sudah ada sejak lama, sejak penjajahan belanda dulu, di mana saat itu regulasi ini dibuat untuk melindungi budak. Setelah kemerdakaan, gerakan buruh penting untuk mempertahankan kemerdakaan, terutama sekali untuk menunnjang sektor-sektor pembangunan yang dilakukan pada skala nasional. Gerakan buruh memiliki peran yang vital dalam merebut kemerdekaan Indonesia melalui serikat buruh. Keberhasilan gerakan buruh ini menjamin posisi buruh yang lebih baik, hal ini terlihat melalui peran buruh pada perannya dalam menunjang pembangunan pasca kemerdekaan. Hal ini kemudian berbuah pada pembentukan kebijakan dan hukum perburuhan di Indonesia yang melindungi kaum buruh. Sebelumnya, kaum buruh hanya dimanfaatkan tenaga fisiknya, dipekerjakan di pabrik demi kepentingan produksi dan kesejahteraannya tidak pernah menjadi perhatian. Seiring perkembangan regulasi Perburuhan di Indonesia, Departemen Ketenagakerjaan mengusulkan perubahan istilah buruh diganti dengan istilah pekerja, pada Kongres FBSI (Federasi Buruh Seluruh Indonesia) II tahun 1985. Penggantian istilah ini dilakukan karena istilah buruh kurang sesuai dengan kepribadian bangsa. Buruh lebih cenderung merujuk pada pekerja kasar pada sektor non-formal seperti kuli atau tukang

Pada masa orde lama kemudian diterbitkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1947 tentang Keselamatan di Tempat Kerja oleh pemerintah yang merupakan peralihan kebijakan dasar perburuhan dari pasal 1601 dan 1603 BW (Burgerlijk Wetboek) yang merupakan UU perdata Belanda. Pasal tersebut cenderung berprinsip “no work no pay”. Menyusul UU tersebut, diterbitkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1948 tentang Perlindungan Buruh dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1948 tentang Pengawasan Perburuhan yang meliputi sejumlah aspek perlindungan buruh, misalnya larangan diskriminasi di tempat kerja, regulasi 40 jam kerja dalam seminggu dengan dibagi maksimal dalam 6 hari, kewajiban penyediakaan fasilitas perumahan, larangan mempekerjakan anak dibawah umur 14 tahun, dan hak cuti haid dan melahirkan. Undang-Undang inilah yang menjadi dasar utama kebijakan regulasi perburuhan di Indonesia kemudian.

Pada masa orde baru, situasi sempat menjadi kacau dari segi ekonomi, keadaan ini kemudian membuat pemerintah untuk menggerakkan kembali roda ekonomi yang tersumbat. Pertumbuhan ekonomi menjadi hal penting pada masa itu. Sebagai akibatnya, penerapan strategi modernisasi difensis dilakukan, di mana penguasa berusaha mengatur segalanya dan mengontrol organisasi buruh untuk mengejar perbaikan ekonomi. UU kemudian juga menjadi tidak efektif karena kentalnya suasana militerisme pada masa itu yang disebabkan karena agenda utama orde baru untuk mencegah organisasi massa yang dinilai radikal dan dapat menyebabkan kerapuhan dan kehancuran seperti yang terjadi pada orde lama. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1997. Peraturan tentang ketenagakerjaan yang menjadi kontroversi pada masa ini adalah Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1997 yang kental dengan militerisme. Pada masa ini Hukum Perburuhan tidak dapat dengan efektif digunakan.


Baru kemudian pada masa reformasi, kebebasan berserikat mulai ada. Pada masa ini lahir jaringan perburuhan yang dimulai dengan pengakuan SPSI (Serikat Pekerja Seluruh Indonesia) yang dimotori oleh LSM dengan aksi-aksi menolak militerisme dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1997. LSM perburuhan bergabung dalam suatu jaringan bernama KPHP (Komisi Pembaharuan Hukum Perburuhan) melakukan aksi penolakan Undang-Undang tersebut. Menurut KPHP, Undang-Undang tersebut belum memuat hak-hak dasar buruh seperti jaminan atas pekerjaan, kebebasan bebas berorganisasi dan mogok, serta lembaga penyelesaian perselisihan perburuhan yang adil. Penolakan tersebut menjadikan UU perburuhan kembali mengacu pada UU lama selama 5 tahun sebelum akhirnya diundangkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, UU ketenagakerjaan yang masih dipakai hingga kini.



Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 merupakan Undang-Undang pokok dalam hal ketenagakerjaan, bersamaan dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2013, Undang-Undang sebelumnya dicabut. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 ini meregulasi berbagai hal, diantaranya kesempatan dan perlakuan yang sama; perencanaan tenaga kerja dan informasi ketenagakerjaan; pelatihan kerja; penempatan tenaga kerja; perluasan kesempatan kerja; penggunaan tenaga kerja asing; hubungan kerja; perlindungan, pengupahan, dan kesejahteraan; hubungan industrial; pemutusan hubungan kerja; pembinaan; pengawasan; dan penyidikan.

Sabtu, 02 Juni 2018

Green Supply Chain Management (GSCM)

Kegiatan bisnis dapat menimbulkan ancaman yang signifikan terhadap lingkungan, misalnya dalam hal emisi karbon monoksida, cemaran limbah, material beracun, kemacetan lalu lintas dan bentuk lain dari polusi industri. Manajemen rantai pasokan hijau (GSCM) merupakan suatu inovasi untuk menjawab ancaman terhadap lingkungan. Konsep GSCM adalah untuk mengintegrasikan kepedulian lingkungan ke dalam manajemen rantai pasokan (SCM). GSCM bertujuan untuk meminimalkan atau menghilangkan pemborosan termasuk bahan kimia berbahaya, emisi, energi dan limbah padat di sepanjang rantai pasok seperti desain produk, sumber bahan dan seleksi, proses manufaktur, pengiriman produk akhir dan manajemen akhir masa pakai produk. Dengan demikian, GSCM memainkan peran penting dalam mempengaruhi total dampak terhadap lingkungan dari setiap perusahaan yang terlibat dalam kegiatan rantai pasok dan dengan demikian berkontribusi terhadap peningkatan kinerja yang keberlanjutan.

GSCM merupakan sebuah evolusi dari SCM. Ketika persaingan semakin intensif pada tahun 1990-an, meningkatnya kesadaran akan praktik-praktik hijau telah memicu perusahaan untuk bertindak secara etis dan bertanggung jawab secara sosial dalam rantai pasokan mereka. Pada awal tahun 1995, GSCM telah menarik minat ilmiah yang besar; GSCM kemudian terus menjadi perhatian hingga kini. Dengan praktik-praktik ini, perusahaan mengembangkan strategi manajemen lingkungan sebagai tanggapan terhadap perubahan kesadaran masyarakat dan konsumen akan lingkungan dan berdampak pada operasi rantai pasok.

Tentu dalam implementasinya, setiap mata rantai dari rantai pasok harus terlibat dalam pemikiran hijau agar dapat menciptakan 1 rantai pasok yang hijau. kerjasama hijau ini termasuk bekerja sama dengan pemasok awal untuk mencapai tujuan lingkungan hijau dan meningkatkan inisiatif pengurangan limbah, mengembangkan desain-desain produksi ramah lingkungan, pengembangan prinsip penggunaan kembali dan meningkatkan efisiensi emisi, serta penyediaan peralatan, suku cadang, dan pelayanan yang mendukung konsep hijau.

sumber gambar: http://doi.org/10.1016/j.procir.2014.07.035

Praktik GSCM merupakan serangkaian sistem yang termasuk pengadaan bahan yang hijau, manufaktur hijau, distribusi hijau, dan logistik hijau. Kinerja keberlanjutan ini dapat diamati dari perspektif ekonomi, lingkungan, dan sosial. Interaksi antar-organisasi yang kuat merupakan salah satu faktor yang mendukung praktik GSCM. Tak dapat disangkal, hubungan rantai pasok yang kolaboratif selalu didasarkan pada kepercayaan, kesetiaan, keadilan dalam negosiasi, tujuan dan niat, dan komitmen.

Pengadaan yang hijau dapat didefinisikan sebagai seperangkat praktik sisi penawaran yang digunakan oleh organisasi untuk memilih pemasok secara efektif berdasarkan kompetensi lingkungan, kemampuan teknis dan eko-desain, kinerja lingkungan, kemampuan untuk mengembangkan barang ramah lingkungan, dan kemampuan untuk mendukung tujuan lingkungan perusahaan. Selanjutnya ada prinsip 3R (Reuse-Recycle-Reduce): yaitu dengan menggunakan kembali bahan jika memungkinkan, mendaur ulang, dan mengurangi dalam proses pengadaan hijau dalam hal kertas dan wadah penampungan (kantong plastik / kotak), melakukan pesanan pembelian melalui email (tanpa kertas), menggunakan label produk ramah lingkungan, memastikan sertifikasi lingkungan pemasok, dan melakukan audit untuk manajemen lingkungan internal pemasok.

Manufaktur hijau adalah proses produksi dengan mengurangi bahan berbahaya, meningkatkan efisiensi energi dalam pencahayaan dan pemanasan, mempraktikkan 3R, meminimalkan limbah, secara aktif merancang dan mendesain ulang proses hijau. Kegiatan ini membutuhkan produsen untuk mendesain produk yang memfasilitasi dan mempraktikkan 3R dengan penggunaan kembali, daur ulang dan pemulihan inventory dan komponen material; menghindari atau mengurangi penggunaan produk berbahaya dalam proses produksi; minimalkan konsumsi bahan serta energi.

Distribusi hijau terdiri dari pengemasan hijau yang bertujuan untuk (1) pengecilan kemasan, (2) menggunakan bahan kemasan ramah lingkungan, (3) mempromosikan program daur ulang dan penggunaan kembali, (4) bekerja sama dengan vendor untuk menstandardisasi kemasan, (5) mendorong dan mengadopsi metode pengemasan yang dapat dikembalikan (reuse) (6) meminimalkan penggunaan material dan waktu untuk membongkar (reduce), (7) menggunakan sistem palet yang dapat didaur ulang dan terakhir (recycle), (8) menghemat energi di gudang.

Logistik hijau berbicara tentang mengirimkan barang langsung ke pengguna, menggunakan kendaraan bahan bakar alternatif hemat energi dan pengelompokkan pesanan bersama-sama daripada dalam jumlah yang lebih kecil, berinvestasi dalam kendaraan yang dirancang untuk mengurangi dampak lingkungan, dan merencanakan rute kendaraan dengan baik. Prinsip 3R dapat diterapkan dalam bentuk pengumpulan produk dan kemasan bekas dari pelanggan untuk didaur ulang, mengembalikan kemasan dan produk ke pemasok untuk digunakan kembali, dan meminta pemasok untuk mengumpulkan bahan pengemasan.