Minggu, 03 Juni 2018

Ketenagakerjaan

Saat ini, ketenagakerjaan di Indonesia diatur dalam Undang-undang Republik Indonesia no.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Dilengkapi dengan UU RI no.21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja; UU RI no.2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial; dan UU RI no.39 tahun 2004 tentang Penempatan Dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Di Luar Negeri.

Regulasi mengenai ketenagakerjaan sebenarnya sudah ada sejak lama, sejak penjajahan belanda dulu, di mana saat itu regulasi ini dibuat untuk melindungi budak. Setelah kemerdakaan, gerakan buruh penting untuk mempertahankan kemerdakaan, terutama sekali untuk menunnjang sektor-sektor pembangunan yang dilakukan pada skala nasional. Gerakan buruh memiliki peran yang vital dalam merebut kemerdekaan Indonesia melalui serikat buruh. Keberhasilan gerakan buruh ini menjamin posisi buruh yang lebih baik, hal ini terlihat melalui peran buruh pada perannya dalam menunjang pembangunan pasca kemerdekaan. Hal ini kemudian berbuah pada pembentukan kebijakan dan hukum perburuhan di Indonesia yang melindungi kaum buruh. Sebelumnya, kaum buruh hanya dimanfaatkan tenaga fisiknya, dipekerjakan di pabrik demi kepentingan produksi dan kesejahteraannya tidak pernah menjadi perhatian. Seiring perkembangan regulasi Perburuhan di Indonesia, Departemen Ketenagakerjaan mengusulkan perubahan istilah buruh diganti dengan istilah pekerja, pada Kongres FBSI (Federasi Buruh Seluruh Indonesia) II tahun 1985. Penggantian istilah ini dilakukan karena istilah buruh kurang sesuai dengan kepribadian bangsa. Buruh lebih cenderung merujuk pada pekerja kasar pada sektor non-formal seperti kuli atau tukang

Pada masa orde lama kemudian diterbitkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1947 tentang Keselamatan di Tempat Kerja oleh pemerintah yang merupakan peralihan kebijakan dasar perburuhan dari pasal 1601 dan 1603 BW (Burgerlijk Wetboek) yang merupakan UU perdata Belanda. Pasal tersebut cenderung berprinsip “no work no pay”. Menyusul UU tersebut, diterbitkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1948 tentang Perlindungan Buruh dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1948 tentang Pengawasan Perburuhan yang meliputi sejumlah aspek perlindungan buruh, misalnya larangan diskriminasi di tempat kerja, regulasi 40 jam kerja dalam seminggu dengan dibagi maksimal dalam 6 hari, kewajiban penyediakaan fasilitas perumahan, larangan mempekerjakan anak dibawah umur 14 tahun, dan hak cuti haid dan melahirkan. Undang-Undang inilah yang menjadi dasar utama kebijakan regulasi perburuhan di Indonesia kemudian.

Pada masa orde baru, situasi sempat menjadi kacau dari segi ekonomi, keadaan ini kemudian membuat pemerintah untuk menggerakkan kembali roda ekonomi yang tersumbat. Pertumbuhan ekonomi menjadi hal penting pada masa itu. Sebagai akibatnya, penerapan strategi modernisasi difensis dilakukan, di mana penguasa berusaha mengatur segalanya dan mengontrol organisasi buruh untuk mengejar perbaikan ekonomi. UU kemudian juga menjadi tidak efektif karena kentalnya suasana militerisme pada masa itu yang disebabkan karena agenda utama orde baru untuk mencegah organisasi massa yang dinilai radikal dan dapat menyebabkan kerapuhan dan kehancuran seperti yang terjadi pada orde lama. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1997. Peraturan tentang ketenagakerjaan yang menjadi kontroversi pada masa ini adalah Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1997 yang kental dengan militerisme. Pada masa ini Hukum Perburuhan tidak dapat dengan efektif digunakan.


Baru kemudian pada masa reformasi, kebebasan berserikat mulai ada. Pada masa ini lahir jaringan perburuhan yang dimulai dengan pengakuan SPSI (Serikat Pekerja Seluruh Indonesia) yang dimotori oleh LSM dengan aksi-aksi menolak militerisme dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1997. LSM perburuhan bergabung dalam suatu jaringan bernama KPHP (Komisi Pembaharuan Hukum Perburuhan) melakukan aksi penolakan Undang-Undang tersebut. Menurut KPHP, Undang-Undang tersebut belum memuat hak-hak dasar buruh seperti jaminan atas pekerjaan, kebebasan bebas berorganisasi dan mogok, serta lembaga penyelesaian perselisihan perburuhan yang adil. Penolakan tersebut menjadikan UU perburuhan kembali mengacu pada UU lama selama 5 tahun sebelum akhirnya diundangkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, UU ketenagakerjaan yang masih dipakai hingga kini.



Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 merupakan Undang-Undang pokok dalam hal ketenagakerjaan, bersamaan dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2013, Undang-Undang sebelumnya dicabut. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 ini meregulasi berbagai hal, diantaranya kesempatan dan perlakuan yang sama; perencanaan tenaga kerja dan informasi ketenagakerjaan; pelatihan kerja; penempatan tenaga kerja; perluasan kesempatan kerja; penggunaan tenaga kerja asing; hubungan kerja; perlindungan, pengupahan, dan kesejahteraan; hubungan industrial; pemutusan hubungan kerja; pembinaan; pengawasan; dan penyidikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar