Minggu, 27 September 2015

Pengawetan Bahan Pangan

  • Pengawetan Suhu Tinggi dan Rendah
        Pengawetan dengan suhu tinggi bekerja dengan cara membunuh mikroba yang ada sehingga aktivitasnya bisa ditekan dan memperlambat proses pembusukan. Pasteurisasi merupakan cara pengawetan makanan dengan suhu yang tidak terlalu tinggi, dengan tujuan hanya untuk membunuh bakteri patogen saja pada suhu 60˚C - 80˚C meninggakan mikroba-mikroba tertentu yang memiliki manfaat baik. Sedangkan sterilisasi merupakan pemanasan dengan suhu tinggi dengan tujuan mematikan seluruh mikroba yang terdapat di bahan pangan. Pengawetan dengan cara sterilasi dapat menjadikan suatu bahan pangan lebih awet dan tahan lama karena menekan aktivitas bakteri. Meskipun pasteurisasi berkhasiat lebih baik karena produk yang dihasilkan masih meyisakan beberapa mikroba baik, tetapi hasil pengaweten dengan pasteurisasi membuat bahan pangan tidak menjadi seawet produk hasil sterilisasi (lebih cepat rusak). Selain itu juga terdapat metode pemanasan lain degan suhu mencapai 200˚C dengan waktu yang cepat (hanya beberapa detik) yang dikenal dengan istilah UHT-ST (Ultra High Temperature-Short Time) pada susu dengan tujuan membunuh bakteri tanpa merusak produk susu.
        Jika pengawetan dengan suhu tinggi dimaksudkan untuk membunuh mikroba yang ada, pengawetan dengan suhu rendah (pembekuan) bertujuan hanya untuk menonaktifkan mikroba (yang sifatnya sementara) pada bahan pangan selama belum dikonsumsi sehingga mikroba tidak beraktivitas dan produk akan bertahan lebih lama. Di saat produk pangan sudah tidak beku, mikroba akan kembali aktif, oleh karena itu makanan yang disimpan dalam lemari pendingin akan lebih tahan lama dibanding dengan jika diletakkan pada suhu ruang karena sebagian besar mikroba yang ada pada bahan pangan akan bekerja optimal pada suhu ruang atau sedikit lebih tinggi.


  • Perkembangan Mikroba

Umumnya perkembangan mikroba dalam suatu bahan pangan membentuk suatu pola seperti ini
        Fase A merupakan fase inisial. Pada fase ini bakteri masih beradaptasi atau membiasakan diri dengan lingkungannya, pada fase ini pertumbuhan populasi bakteri belum terlihat karena bakteri belum mulai membelah diri.
        Fase B bisa disebut sebagai fase pertumbuhan lambat. Pada fase ini bakteri sudah terbiasa dan beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya dan memulai pembelahan diri, pada fase ini pertumbuhan populasi bakteri mulai terlihat meskipun hanya sedikit.
        Fase C merupakan fase logaritmik. Pada fase ini mikroba terus membelah diri dengan pesat hingga pada suatu poin tertentu. Pada fase ini bakteri mengalami metabolisme primer.
        Fase D merupakan fase stasioner. Pada fase ini terlihat tidak ada petambahan populasi mikroba. Sebenarnya mikroba masih membelah diri, hanya saja mikroba juga mulai mati, karena jumlah mikroba yang bertambah sama dengan jumlah yang berkurang, saat diamati akan didapat hasil bahwa populasi mikroba tidak berubah (statis). Pada fase ini mikroba mengalami metabolisme sekunder.
        Pada suatu waktu dan keadaan tertentu pertumbuhan mikroba di suatu bahan pangan akan mencapai fase E, jumlah mikroba mengalamim peluruhan dan terus berkurang hingga akhirnya seluruhnya mati dan habis.

  • Fermentasi Alkohol Pada Pembuatan Wine
        Proses fermentasi merupakan salah satu proses pengawetan dengan mikroba dengan tidak mengubah atau merusak enzim yang terdapat pada bahan pangan, salah satu contohnya adalah fermentasi alkohol pada wine dengan mengubah glukosa menjadi alkohol.
        Proses pembuatan wine: anggur, ambil sarinya, masukkan ragi Saccharomyces cerevisiae, biarkan bertumbuh. Untuk membuat wine, diperlukan starter, bahan yang berisi mikroba yang akan digunakan untuk pencampuran bahan pangan. Untuk membuat starter harus dapat mengembangkan mikroba terlebih dahulu. Misalnya, dari 1 cc mikroba campurkan ke dalam 10 cc pelarut, setelah mencapai masa logaritmik masukkan ke dalam 100 cc pelarut, biarkan mengalami metabolisme primer dengan memanfaatkan bahan dan energi dari bahan pangan itu untuk pertumbuhan mikroba. Setelah itu biarkan mikroba menghasilkan metabolit sekunder.
        Setelah wine terproduksi alkohol melalui metabolisme sekunder, mikroba secara otomatis akan mati oleh alkohol pada  kadar 8-12%. Untuk mendapatkan kadar alkohol lebih dari 12%, lakukan fortifikasi. Bagi wine yang telah mencapai kadar alkohol 12% menjadi dua bagian, lakukan destilasi pada salah satu bagian tersebut, lalu akan didapat alkohol murni, campurkan kembali pada bagian alkohol dengan kadar 12% yang tidak dilakukan destilasi, kadar alkohol akan naik menjadi 21,4%, jika fortifikasi tersebut dilakukan lagi didapat wine dengan kadar alkohol 35,3% dan seterusnya hingga didapat kadar yang diinginkan.
        Nah setelah sudah didapat kadar alkohol yang diinginkan dalam wine, lakukan aging, aging merupakan proses sentrifikasi untuk mengendapkan residu mikroba yang sudah mati tadi. Biasa menggunakan kayu sebagai medianya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar